Saya duduk di bangku tunggu peron. Di sebelah saya duduk seorang gadis muda berpenampilan rapi dan menarik.
Basa-basi saya menyapanya: "Mau berangkat ke mana, mbak?"
Dengan wajah cukup ramah dia menjawab: "Mau ke Bandung, pak.."
Sebagai balasan, saya pun menjelaskan tujuan kepergian saya ke kota mana. Dengan tambahan bahwa saya bepergian karena urusan pekerjaan. Maka tanpa diminta dia pun menjelaskan tambahan keterangan bahwa tujuannya ke Bandung untuk kembali mengikuti kuliah setelah beberapa hari pulang ke rumahnya di kota ini.
Tanpa terasa kami pun ngobrol ngalor-ngidul lumayan akrab seterusnya.
Sampai suatu saat begitu saja terlontar pertanyaan saya kepadanya (meski saya merasa melontarkannya dengan nada sangat hati-hati) : "Ngomong-ngomong bepergian sendirian, apa belum punya pacar, mbak..?"
Gadis itu sejenak terdiam seperti agak terkejut dengan lontaran pertanyaan saya itu sambil menatap serius wajah saya. Dan barangkali karena melihat ekspresi wajah saya yang (mudah-mudahan) terkesan polos (karena terus terang saya memang tidak punya tujuan tersembunyi kepadanya dengan melontarkan pertanyaan itu), ia pun mau meneruskan obrolannya lagi dengan saya.
Apa yang kemudian dikatakan oleh gadis itu kepada saya tentang soal pacar (dan tambahan soal cinta) menanggapi cetusan pertanyaan saya itu, kemudian membuat saya tercenung lama sehabis dia menjelaskannya lumayan panjang lebar. Terus terang saya tidak menyangka, atau bisa dibilang terkejut, menangkap maknanya. Nampaknya gadis ini jauh lebih dewasa dari tampilan luarnya yang begitu gaul dan muda.
Ringkasnya dia mengatakan bahwa dirinya belum merasa mampu untuk punya pacar. Belum mampu untuk bisa benar-benar berbagi. Terutama berbagi rasa cinta selain buat dirinya sendiri. Juga belum mampu menguasai diri untuk tidak terpeleset ke sekedar dorongan syahwat berlabel cinta. Termasuk belum mampu memilah dan memilih prioritas apa yang baik bagi kepentingan dirinya tanpa rancu dengan kepentingan orang lain. Dia bilang pula, bila kelak ia sudah merasa mampu punya pacar (benar-benar mampu mencintai orang lain), dia ingin melakukannya sepenuh perasaan tanpa terganggu lagi macam-macam pertimbangan pikiran (yang menurutnya bisa bikin ribet dan pusing sendiri).
Apa yang diucapkan gadis itu jadi bahan pemikiran saya lama setelah perjumpaan sesaat kami sore itu. Saya terus menimbang-nimbang, apakah cinta sejati itu memang harus didasari pada seutuh perasaan (tak lagi direcoki berbagai pertimbangan pikiran), namun bilamana seseorang sebelum itu telah benar-benar sanggup mengatasi ke-'aku'-an dalam dirinya? Sebab dirinya hanya ingin memberi bukan menerima (give not take) bagi orang yang dicintainya? Benar masih adakah yang begitu?? Oi..alangkah indahnya bila demikian...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar