Rabu, 23 Agustus 2017

Cap Sosial

      Monty sekali tempo merasa sangat tak nyaman dengan status atau cap sosial yang sekarang menimpa dirinya, yakni sebagai janda. Masih muda dan belum punya anak lagi.

    Acapkali kala bercermin satu badan di kamarnya, tanpa maksud membanggakan dirinya pun, Monty menyadari bahwa wajah dan sosok tubuhnya memang tergolong cantik molek. Kulit putih licin bak lilin, semampai tinggi, sekaligus sintal seksi.

          Tetapi apa ini yang membuatnya harus mau menerima cap bahwa dirinya itu 'berbahaya' ? Mengundang stigma atau pandangan 'miring' orang-orang yang mengenalnya (atau bahkan orang yang kemudian baru mengenalnya kala mengetahui status janda-nya). Seakan-akan status janda dan tampilan cantik moleknya merupakan kombinasi pas sebagai wanita yang harus extra diwaspadai atau extra diawasi perilaku gender-nya. Seakan-akan dirinya diberi beban tuntutan berlebihan untuk membuktikan bahwa dirinya adalah wanita 'baik-baik'. Yang sikapnya (terutama terhadap lawan jenis) tak boleh kelewat ramah (bicara harus sangat diatur dan terbatas seperlunya), kelewat ceria (dilarang ketawa girang atau lepas), kelewat perhatian (harus menahan diri agar terkesan cuek), dan seterus-seterusnya...

      Jangan tanya lagi soal pantangan pulang kemalaman (apalagi kalau kelihatan diantar lelaki). Atau sebaliknya sendirian keluar rumah malam-malam (apalagi kalau kelihatan nyopir mobil sendiri). Yang beginian pasti memantapkan cap sosial (negatif!) status jandanya! Bikin tambah heboh celoteh-cibiran atau cemohan-nista dari mereka yang memang senang mencari-cari sisi buruk dirinya... 

           Tetapi seperti dibilang di awal tulisan ini, rasa terganggu seperti itu hanya sekali tempo saja dirasakan Monty. Selebihnya (di kebanyakan tempo) ia percaya diri untuk menjadi dirinya sendiri. Bertanggung-jawab kepada dirinya, baik sosial maupun individual. Ngurusi pandangan orang (apalagi yang negatif) kapan habisnya? Salah-salah ia bisa ketularan aura alias hawa negatifnya. Rugi sendiri, dong..! 

            Monty tahu dan sadar, pilihan bercerai dari suaminya adalah pilihan terbaik dari yang terburuk. Hanya dirinya yang benar-benar memahami segala alasannya. Hanya dirinya yang benar-benar bisa merasakannya pedih-perihnya. Orang lain cuma memandang dari luar dan mengomentarinya. Itu klise! Ia tidak menyesalinya. Jika pun itu kesalahan, ia ingin memperbaikinya dengan menata hidupnya ke depan lebih baik. Jika benar 'jodoh di tangan Tuhan', ia cuma berusaha terbaik semampunya mengurus dirinya. Sisanya ia berdoa, semoga kelak di kemudian hari Tuhan memberi yang lebih baik bagi dirinya, sesuai kehendak-NYA...  

Selasa, 15 Agustus 2017

Cerita Cinta

       Saya sedang menunggu keberangkatan kereta api di suatu stasiun kota besar. Suasana stasiun sore itu tidak terlalu ramai karena bukan musim liburan.
      Saya duduk di bangku tunggu peron. Di sebelah saya duduk seorang gadis muda berpenampilan rapi dan menarik.
       Basa-basi saya menyapanya: "Mau berangkat ke mana, mbak?"
       Dengan wajah cukup ramah dia menjawab: "Mau ke Bandung, pak.."
    Sebagai balasan, saya pun menjelaskan tujuan kepergian saya ke kota mana. Dengan tambahan bahwa saya bepergian karena urusan pekerjaan. Maka tanpa diminta dia pun menjelaskan tambahan keterangan bahwa tujuannya ke Bandung untuk kembali mengikuti kuliah setelah beberapa hari pulang ke rumahnya di kota ini.
           Tanpa terasa kami pun ngobrol ngalor-ngidul lumayan akrab seterusnya.
Sampai suatu saat begitu saja terlontar pertanyaan saya kepadanya (meski saya merasa melontarkannya dengan nada sangat hati-hati) : "Ngomong-ngomong bepergian sendirian, apa belum punya pacar, mbak..?"
       Gadis itu sejenak terdiam seperti agak terkejut dengan lontaran pertanyaan saya itu sambil menatap serius wajah saya. Dan barangkali karena melihat ekspresi wajah saya yang (mudah-mudahan) terkesan polos (karena terus terang saya memang tidak punya tujuan tersembunyi kepadanya dengan melontarkan pertanyaan itu), ia pun mau meneruskan obrolannya lagi dengan saya.
         Apa yang kemudian dikatakan oleh gadis itu kepada saya tentang soal pacar (dan tambahan soal cinta) menanggapi cetusan pertanyaan saya itu, kemudian membuat saya tercenung lama sehabis dia menjelaskannya lumayan panjang lebar. Terus terang saya tidak menyangka, atau bisa dibilang terkejut, menangkap maknanya. Nampaknya gadis ini jauh lebih dewasa dari tampilan luarnya yang begitu gaul dan muda.
         Ringkasnya dia mengatakan bahwa dirinya belum merasa mampu untuk punya pacar. Belum mampu untuk bisa benar-benar berbagi. Terutama berbagi rasa cinta selain buat dirinya sendiri. Juga belum mampu menguasai diri untuk tidak terpeleset ke sekedar dorongan syahwat berlabel cinta. Termasuk belum mampu memilah dan memilih prioritas apa yang baik bagi kepentingan dirinya tanpa rancu dengan kepentingan orang lain. Dia bilang pula, bila kelak ia sudah merasa mampu punya pacar (benar-benar mampu mencintai orang lain), dia ingin melakukannya sepenuh perasaan tanpa terganggu lagi macam-macam pertimbangan pikiran (yang menurutnya bisa bikin ribet dan pusing sendiri).
        Apa yang diucapkan gadis itu jadi bahan pemikiran saya lama setelah perjumpaan sesaat kami sore itu. Saya terus menimbang-nimbang, apakah cinta sejati itu memang harus didasari pada seutuh perasaan (tak lagi direcoki berbagai pertimbangan pikiran), namun bilamana seseorang sebelum itu telah benar-benar sanggup mengatasi ke-'aku'-an dalam dirinya? Sebab dirinya hanya ingin memberi bukan menerima (give not take) bagi orang yang dicintainya? Benar masih adakah yang begitu?? Oi..alangkah indahnya bila demikian...